Perang Salib
Peta Mediterania Timur pada tahun 1135, memperlihatkan wilayah yang dikuasai tentara salib dan daerah sekitarnya.
Perang Salib merupakan serangkaian kampanye militer berselang dari tahun 1096 sampai 1487 yang disahkan oleh beberapa paus. Pada tahun 1095 Kaisar Bizantium Alexius I Komnenus mengirimkan seorang utusan kepada Paus Urbanus II untuk meminta dukungan militer dalam konflik Kekaisaran Romawi Timur dengan bangsa Turk yang melakukan migrasi ke arah barat di Anatolia (Turki masa kini). Sang paus menanggapinya dengan memanggil umat Katolik untuk bergabung dengan apa yang kemudian disebut sebagai Perang Salib Pertama. Salah satu tujuan yang dinyatakan oleh Paus Urbanus adalah menjamin akses para peziarah ke tempat-tempat suci di Tanah Suci yang berada di bawah kendali penguasa Muslim, sementara strateginya yang lebih luas yaitu menyatukan kembali cabang-cabang Timur dan Barat dari dunia Kekristenan setelah perpecahan mereka pada tahun 1054, serta menetapkan diri sebagai kepala Gereja yang dipersatukan. Hal ini mengawali suatu perjuangan yang kompleks selama 200 tahun di wilayah tersebut.
Ratusan ribu orang dari berbagai negara dan kelas yang berbeda di Eropa Barat menjadi tentara salib dengan mengambil suatu sumpah publik dan menerima indulgensi penuh dari gereja tersebut. Beberapa tentara salib adalah para petani yang berharap atas pengilahian di Yerusalem. Paus Urbanus II mengklaim bahwa siapa pun yang ikut serta akan diampuni dosa-dosanya. Selain menunjukkan pengabdian kepada Allah, sebagaimana dinyatakan olehnya, keikutsertaan memenuhi kewajiban feodal dan berkesempatan memperoleh manfaat ekonomi dan politik. Para tentara salib seringkali menjarah negara-negara yang mereka lalui dalam perjalanan, dan berlawanan dengan janji-janji mereka, para pemimpin tentara salib menguasai banyak dari wilayah ini bukan mengembalikannya kepada Bizantium.
Perang Salib Rakyat memicu pembunuhan ribuan orang Yahudi, yang dikenal sebagai pembantaian Rhineland. Konstantinopel dijarah selama Perang Salib Keempat, sehingga usaha penyatuan kembali dunia Kristen pada saat itu mustahil terjadi. Pengepungan tersebut mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Bizantium dan akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Ottoman pada tahun 1453. Para penguasa Eropa Barat tidak memberikan tanggapan yang jelas ketika kubu pertahanan Katolik yang terakhir di wilayah tersebut, Akko, jatuh pada tahun 1291.
Ada beragam pendapat terkait perilaku tentara salib, mulai dari yang sifatnya pujian sampai yang sangat kritis. Dampak dari perang-perang salib sangat besar; mereka membuka kembali Laut Mediterania untuk perdagangan dan perjalanan, memungkinkan perkembangan Genoa dan Venesia. Para tentara salib melakukan perdagangan dengan penduduk lokal selama perjalanan mereka, dan para kaisar Romawi Ortodoks seringkali mengorganisir pasar-pasar bagi para tentara salib yang bergerak melalui wilayah mereka. Perang-perang Salib menggabungkan identitas bersama dari Gereja Latin di bawah kepemimpinan paus, dan dianggap sebagai suatu simbol kepahlawanan, sikap kesatria, dan kesalehan. Hal ini karenanya melahirkan sastra, filsafat, dan roman abad pertengahan. Bagaimanapun berbagai perang salib semakin mengukuhkan hubungan antara militerisme, feodalisme, dan Katolikisme Barat, yang mana bertentangan dengan Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah yang dipromosikan Paus Urbanus.
Terminologi
Madrid Skylitzes, naskah teriluminasi yang memperlihatkan orang Yunani Bizantium sedang menghukum orang Saracen Kreta.
Crusade (Perang Salib) adalah sebuah istilah modern yang berasal dari kata Perancis croisade dan Spanyol cruzada; pada tahun 1750 bentuk-bentuk dari kata "crusade" telah terbentuk sendiri dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Oxford English Dictionary mencatat penggunaannya pertama kali dalam bahasa Inggris oleh William Shenstone pada tahun 1757.Ketika seorang tentara salib mengucapkan suatu sumpah (votus) untuk pergi ke Yerusalem, ia akan menerima sehelai kain salib (crux) untuk dijahitkan di pakaiannya. Hal "mengenakan salib" ini menjadi terkait dengan keseluruhan perjalanan, dan para tentara salib memandang diri mereka melakukan suatu iter (perjalanan) atau peregrinatio (ziarah bersenjata). Inspirasi akan "mesianisme kaum miskin" ini merupakan suatu pengilahian (apotheosis) massal yang diharapkan di Yerusalem.
Penomoran Perang-perang Salib menjadi bahan perdebatan, beberapa sejarawan menghitung ada tujuh Perang Salib besar dan sejumlah kecil lainnya antara tahun 1096–1291.[3] Kalangan lain menganggap Perang Salib Kelima yang melibatkan Frederik II sebagai dua perang salib, sehingga perang salib yang dilakukan oleh Louis IX pada tahun 1270 menjadi Perang Salib Kedelapan. Terkadang Perang Salib Kedelapan ini dianggap dua, sebab yang kedua dianggap sebagai Perang Salib Kesembilan.
Pandangan pluralistik mengenai Perang-perang Salib berkembang selama abad ke-20, "Perang Salib" dianggap mencakup semua kampanye militer di Asia Barat atau di Eropa yang direstui oleh kepausan.Perbedaan utama antara Perang-perang Salib dan perang suci lainnya adalah bahwa pengesahan untuk melakukan Perang-perang Salib bersumber langsung dari paus, yang mengaku melakukannya atas nama Kristus.Dikatakan demikian karena mempertimbangkan pandangan Gereja Katolik Roma dan mereka yang hidup pada zaman abad pertengahan, seperti Santo Bernardus dari Clairvaux, yang mana memberikan prioritas setara untuk kampanye militer yang dilakukan untuk alasan politik dan untuk memerangi paganisme dan bidah. Definisi yang luas ini mencakup penganiayaan terhadap kaum bidah di Perancis Selatan, konflik politik antara umat Kristen di Sisilia, penaklukan kembali Iberia oleh kaum Kristen, dan penaklukan atas kaum pagan di Baltik.Suatu pandangan yang lebih sempit adalah bahwa Perang-perang Salib merupakan perang pertahanan diri di Levant terhadap kaum Muslim untuk membebaskan Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim.
Para paus secara periodik menyatakan perang-perang salib politik sebagai sarana penyelesaian konflik di antara kaum Katolik Roma; dari pengertian ini, yang pertama dinyatakan oleh Paus Innosensius III terhadap Markward von Annweiler pada tahun 1202.[15] Yang lain misalnya perang salib melawan kaum Stingers, beberapa perang salib (yang dinyatakan oleh sejumlah paus) melawan Kaisar Frederik II dan para putranya,[16] dan dua perang salib melawan para musuh Raja Henry III dari Inggris yang mana mendapatkan keistimewaan-keistimewaan setara sebagai para peserta dalam Perang Salib Kelima.
Suatu istilah umum bagi kaum Muslim adalah Saracen; sebelum abad ke-16, kata-kata "Muslim" dan "Islam" jarang digunakan oleh orang Eropa.Dalam bahasa Yunani dan Latin, kata "Saracen" berasal dari awal milenium pertama untuk merujuk pada orang-orang selain bangsa Arab yang mendiami daerah gurun di sekitar Provinsi Romawi Arabia.Istilah tersebut berkembang sehingga mencakup suku-suku Arab, dan pada abad ke-12 menjadi penanda religius dan etnis yang disamakan artinya dengan "Muslim" dalam literatur berbahasa Latin abad pertengahan.Istilah orang Latin dan Franka digunakan selama Perang-perang Salib bagi orang Eropa Barat, untuk membedakan mereka dari orang Yunani.
Peninggalan Sunting
Penggambaran dari abad ke-20 terkait suatu kemenangan Saladin.
Orang Eropa Barat yang berada di Timur mengadopsi adat istiadat setempat, memandang diri mereka sebagai warga dari rumah baru mereka dan terjadi perkawinan campur.[168] Hal ini menyebabkan adanya orang-orang dan budaya yang diturunkan dari sisa-sisa penduduk Eropa di negara-negara tentara salib, terutama kaum Levantin Perancis di Lebanon, Palestina, dan Turki. Para pedagang dari republik maritim di sekitar Laut Tengah atau Mediterania (Venesia, Genoa, Ragusa) melanjutkan kehidupan mereka di Konstantinopel, Smirna, dan bagian-bagian lain Anatolia serta pantai Mediterania timur selama pertengahan era Bizantium dan Ottoman. Orang-orang ini, yang dikenal dengan sebutan Franko-Levantin (Levantin Perancis; Frankolevantini; bahasa Italia: Levantini; bahasa Yunani: Φραγκολεβαντίνοι; dan bahasa Turki: Levantenler, Tatlısu Frenkleri), merupakan umat Katolik Roma.
Perang-perang Salib pada saat itu mempengaruhi sikap Gereja Barat terhadap peperangan; panggilan secara rutin untuk melangsungkan perang salib dikatakan membiasakan para klerus terhadap tindak kekerasan. Mereka juga memicu suatu perdebatan seputar legitimasi merebut tanah dan kepemilikan dari kaum pagan dengan alasan murni keagamaan yang mana kembali muncul ke permukaan selama Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan ke-16.[169] Kebutuhan akan praktik perang salib mendorong perkembangan pemerintahan sekuler, yang mana tidak semuanya berdampak positif; sumber daya yang digunakan dalam peperangan seharusnya dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk kebutuhan lokal maupun regional.[170]
Karena prestise dan kekuasaannya diangkat oleh Perang-perang Salib, kuria kepausan pada saat itu menjadi memiliki kendali yang lebih besar atas Gereja barat dan memperluas sistem perpajakan kepausan melalui struktur gerejawi Barat. Sistem indulgensi bertumbuh signifikan di Eropa pada abad pertengahan akhir dan memicu Reformasi Protestan pada awal abad ke-16.[171]
Meskipun Perang Salib Albigensian dimaksudkan untuk menghilangkan Katarisme di Languedoc, namun Perancis mengakuisisi daratan dengan ikatan bahasa dan budaya yang lebih dekat dengan Catalunya. Perang salib ini juga berperan dalam pembentukan dan pelembagaan Ordo Dominikan dan Inkuisisi Abad Pertengahan.[172] Penganiaan terhadap orang Yahudi dalam Perang Salib I menjadi bagian dari sejarah panjang antisemitisme di Eropa.[173] Kebutuhan untuk meningkatkan, mengangkut, dan mensuplai pasukan dalam jumlah besar menyebabkan kenaikan aktivitas perdagangan antara Eropa dan outremer tersebut. Genoa dan Venesia mengalami perkembangan dengan adanya koloni-koloni perdagangan yang menguntungkan di negara-negara tentara salib di Tanah Suci dan (kemudian) di wilayah Bizantium yang direbutnya.
0 komentar:
Posting Komentar